Rabu, 11 Mei 2011

WACANA KRITIS KEDAULATAN NEGARA


Judul Buku      :  Pertahanan Indonesia;  
                          Angkatan Perang Negara 
                          Kepulauan
Penulis             :  Chappy Hakim
Penerbit           :  Red and White Publishing,
                          Jakarta
Cetakan           :  Pertama, 2011
Tebal Buku      :  376 halaman

Harian Seputar Indonesia, Selasa (07/03) lalu memberitakan, dua pesawat Sukhoi kita berhasil memaksa pesawat Pakistan Airlines yang melintas dari Dili menuju Malaysia tanpa prosedur resmi, untuk mendarat di Lanud Sultan Hasanuddin, Makasar.
Apa yang Anda rasakan? Kebanggaan kepada pasukan pengawal negara-kah? Rasa nasionalisme yang menggelegak? Kecintaan yang bertambah pada kedaulatan negara? Semoga itu yang kita rasakan bersama.
Berbicara masalah pertahanan negara, maka nama Chappy Hakim merupakan salah satu referensi yang sangat layak dikemukakan. Siapa yang meragukan ke-Indonesia-an seorang Chappy Hakim? Seorang Marsekal Udara (Purn) yang pernah dipercaya menjadi penerbang pesawat kepresidenan, Komandan Jendral Akademi TNI, Gubernur AAU, Kepala Staf Angkatan Udara (2002-2005), Kepala EKKT (Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi (2007), dan penerima Bintang Mahaputra serta penghargaan lain dari berbagai negara.
Buku Pertahanan Indonesia; Angkatan Perang Negara Kepulauan ini adalah salah satu dari sekian banyak pemikiran Chappy soal pertahanan negara. Sebelumnya, Chappy yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Indset, telah menulis banyak buku. Di antaranya, Berdaulat di Udara, Air Diplomacy, dari Segara ke Angkasa, Pelangi Dirgantara, dan Untuk Indonesiaku. Kumpulan kolom sersan (serius tapi santai)-nya ada di Awas, Ketabrak Pesawat Terbang! dan Cat Rambut Orang Yahudi.  
Dalam buku terbitan Red and White Publishing ini, Chappy mengajak kita semua untuk kembali mengingat, bahwa negara memerlukan sebuah sistem pertahanan yang terintegrasi antara pertahanan darat, laut, dan udara. Chappy merasa perlu mengingatkan kembali, karena beberapa kurun waktu terdahulu, konsentrasi pengembangan sektor pertahanan negara seolah terpusat pada angkatan daratnya saja. Ia melihat, kondisi tersebut dimungkinkan terjadi karena penguasa negeri ini memang berasal dari kalangan angkatan darat; meski seharusnya tidak terjadi.
Chappy memulai pembahasan dengan pengingatan akan perkembangan peradaban manusia, teknologi dan sistem pertahanan. Dengan mendasarkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang didukung teori Alvin Toffler, perkembangan teknologi telah dimulai sejak dua atau tiga juta tahun lampau. Setelah melampaui era agraris, era industri dan era informasi, masyarakat dunia mencapai apa yang disebut globalisasi. Dalam era globalisasi inilah, perkembangan harkat dan kualitas manusia tak terbendung lagi.
Pada bagian selanjutnya, Chappy mengingatkan kembali bahwasanya perang kedaulatan negara bisa terjadi di bagian manapun pertahanan negeri. Perang bisa terjadi di darat, di laut dan di udara. Khusus untuk perang udara, Chappy bahkan menyampaikan pelajaran berharga dari beberapa contoh perang, seperti Battle of Britain, Pearl Harbor, dan Perang Teluk.
Bagian terpenting buku ini ada di Bab 5 yang berkisah tentang Membangun Angkatan Perang, dan Bab 6 yang mengulas seputar Profesionalisme Angkatan Perang.
Pada Bab 5, secara komprehensif Chappy menulis tentang betapa pembangunan Angkatan Perang harus didukung dengan keberadaan anggaran yang kuat, kemauan instrokpeksi atas kekuatan perang yang saat ini ada, adanya keterpaduan perencanaan antar ketiga angkatan bersenjata, serta kesadaran bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara senantiasa ada.
Chappy sadar, bahwa untuk membangun angkatan perang yang kuat, tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Chappy juga mafhum, jika senantiasa ada dua teori dalam berperang : perang secara fisik dan perang melalui meja diplomasi.
Namun, menyitir apa yang disampaikan Samuel P. Huntington, betapa piawainya negara melakukan diplomasi, tetap akan sia-sia jika tak didukung kekuatan nyata berupa persenjataan perang. Tentang biaya ini, Chappy merasa anggaran sebesar 3,8% dari APBN, masih jauh dari ideal. Idealita anggaran untuk angkatan perang, setidaknya berada dalam kisaran 20-23% APBN.
Dalam kondisi peralatan tempur yang demikian, maka faktor “deterrence” tidak lagi dimiliki oleh negara kita yang berkepulauan. Kedaulatan pun terancam. Ingat kasus Ambalat, di mana Kapal Perang Malaysia KD Renchong-38 terang-terangan menyenggol KRI Tedong Naga-819? Atau ketika pesawat Angkatan Laut AS F-18 Hornet dari kapal induk USS Carl Vinson melintas tanpa ijin di atas Pulau Bawean pada 3 Juli 2003?
Ketika infrastruktur sebuah angkatan perang telah tersusun pun, ada satu hal yang tak kalah penting. Yakni, profesionalisme personil angkatan perangnya.
Di bab ini, Chappy kembali menyorot tentang dwifungsi ABRI, yang diyakini menjadi musabab merosot dan terbengkalainya pemikiran tentang penyusunan konsep pertahanan negara kepulauan. Orientasi individu para pejabat TNI akan kekuasaan pun seolah mendapat “jalan”. Pada akhirnya, organisasi seolah menjadi “korban” dari hal-hal “non-pertahanan”. Bagi Chappy, reformasi birokrasi angkatan perang menjadi sebuah kemutlakan. Chappy memberikan solusi yang cukup detail tentang reformasi ini.
Sebagai sebuah wacana ulang, buku setebal 376 ini menjadi sangat penting. Karena kendati sudah menjadi wacana publik, keseriusan petinggi negara dan petinggi militer dalam hal pembangunan pertahanan negara yang kuat ini masih belum menunjukkan arah yang jelas.
Sebagai wacana yang cukup “sensitif”, Chappy terlihat cukup hati-hati dalam penyampaiannya kali ini. Hal ini tampak sekali dalam bab Pendahuluan, yang juga tersirat dalam beberapa bab lain. Chappy berkali-kali menegaskan, bahwa penulisan buku ini tak bermaksud menyalahkan satu atau dua pihak lain, namun semata untuk kebaikan bersama di masa mendatang. Tulisan-tulisan kritis tentang angkatan lain pun bukan semata karena Chappy merupakan kader militan angkatan udara, namun lebih kepada kepentingan yang lebih besar, bahwa kekuatan perang harus dibangun merata pada semua bagian.
Semoga pejabat TNI dan petinggi negara saat ini berkenan membaca buku bagus ini.
***

Senin, 18 April 2011

KICAU GALAU YANG TAK KACAU


Judul Buku       :  Kicau Kacau; 
                          Curahan Hati Penulis Galau
Penulis             :  Indra Herlambang
Penerbit           :  PT Gramedia Pustaka Utama, 
                          Jakarta
Cetakan           :  Pertama, 2011
Tebal Buku      :  xvi + 326 halaman


Dalam pandangan saya, kurang tepat rasanya jika buku ini diberi judul Kicau Kacau. Kecuali, jika alasannya sekedar pengambilan judul tulisan isi yang (mungkin) dirasa paling mewakili oleh si penulis itu sendiri.
Mengapa begitu? Karena jelas, ini sebuah kumpulan tulisan –disebut penulisnya sebagai “curahan hati”– yang serius. Yang sama sekali tidak kacau.
Menurut saya, Indra Herlambang sama sekali tak sedang bergurau atau ngaco ketika menulis berbagai hal yang menjadi bahan baku buku ini. Pertama, karena tulisan Indra merupakan sebuah tulisan yang kesemuanya diperuntukkan untuk konsumsi khalayak luas.  Ya, karena kesemua tulisan yang dirangkum oleh penerbit ini merupakan tulisan kolom publicated di berbagai majalah, sepert ME Asia, Free Magazine, dan U Magazine, yang tentu saja merupakan bahan bacaan orang banyak. Tak mungkin Indra asal menulis.
Kedua, pada akhirnya tampak bahwa Indra memang memiliki “spesialisasi” tema penulisan seputar persoalan gaya hidup (lifestyle), dan berbagai hal unik di seputarnya. Itu sebabnya penerbit berhasil mengelompokkan tulisan-tulisan Indra yang terserak itu dalam empat buah bab. Kicauan tentang “Gaya Hidup, Hidup Gaya, dan Hidup Gak Ya?” di bab I, “Single, In Relationship, atau It’s Complicated” pada bab II, “Jakarta, Indonesia, dan Kesehatan Jiwa” di bab III, dan “Keluarga” pada bab terakhir.
Kendati kicauannya dapat dikelompokkan dalam empat topik spesifik seperti di atas, namun tema besarnya tetaplah seputar gaya hidup. Tentang lifestyle itu sendiri, lifestyle dalam hubungan antar manusia, lifestyle dalam sebuah komunitas kota metropolis sekaligus negara agraris demokratis, dan lifestyle yang terkait dengan keberadaan entitas bernama keluarga.
Bagi seorang Indra Herlambang, tentu bukan perkara rumit untuk menemukan berbagai tema lifestyle yang kemudian dikicaukannya dalam bentuk tulisan. Indra adalah seorang selebritas. Eksistensi dan –kadangkala– tuntutan gaya hidup yang seringkali dialaminya, mampu menguatkan dan mendalamkan isi tulisan-tulisannya, yang sebenarnya berangkat dari tema-tema kecil belaka.
Namun, berbagai tema yang seolah remeh temeh itu, berhasil ia angkat menjadi sebuah pembicaraan dan perenungan yang gegar, tanpa kehilangan konteks kesantaiannya. Sersan. Serius tapi santai.
Silakan baca ‘Kacamata Tiga Dimensi di Hidung, Klepon Lezat di Mulut’ di bab I (hal. 15). Tulisan ini berkisah tentang perpaduan teknologi modern dengan peradaban konvensional, bahkan tradisional. Ia menulis hal ini setelah ia “takjub” manakala ditawari makan klepon (jajanan pasar dari tepung ketan berisi gula kelapa) oleh temannya, pada saat mereka menonton film canggih tiga dimensi di sebuah gedung bioskop. Sangat kontras kedua aktivitas itu, tapi ternyata sangat nikmat ketika dirasakan. Dari situ, Indra memandang, betapa menyenangkan jika berbagai kemajuan teknologi dan gaya hidup di dunia ini, mendapat perimbangan yang mudah bagi antisipasi akibat yang mungkin timbul.
Di Bab II, ada ‘Di Atas Kertas Art Paper Biru Muda Berlaminating Doff Sempurna’, yang berawal dari kegalauan Indra seputar undangan pernikahan yang ditempel di majalah dinding kantornya. Dari peristiwa kecil yang sekarang sudah menjadi “biasa” itu, Indra berkisah tentang memudarnya tata krama, sampai kepada analisa mengapa undangan pernikahan yang menjadi tren saat ini seperti tak ubahnya “pameran foto”. Indra menganalisa dengan serius, dan mendapatkan lima alasan yang mungkin (hal. 123-127).
Kicau Kacau’ sendiri bertutur tentang kejenuhannya mendengar kicau Twitter di segala waktu, yang menurutnya telah “berubah” pemanfaatannya dan mengganggu. Saat ini, segala hal dikicaukan di Twitter. Penting atau tak penting. Bermanfaat ataupun tidak. Kadang tanpa isi. Tanpa esensi. Hasilnya? Indra yang semula sempat twitter-addict, menjadi ilfil. Cecuitan burung sungguhan di luar halaman yang dulu sempat terabaikan karena dianggap kalah indah dengan cuit Twitter, ternyata tetap kicau terindah nomor satu (hal.26-31).
Masih banyak (total 50 buah) tulisan yang berhulu pada hal sepele, namun berhilir pada kesimpulan yang membuat kita merenung. Permohonan sumbangan yang “tak sopan”dari adik kelasnya, kegalauan ketika melihat dua makhluk berciuman dahsyat di bilik nomor lima warnet langganannya, juga fenomena ketika ia tertidur di tengah disco party yang gemerlap pada suatu ketika, merupakan kisah-kisah lain yang menjadi bahan kicauan Indra.
Kembali pada pilihan judul buku, saya lebih cenderung untuk menyebut ungkapan hati Indra ini sebagai Kicau Galau.  Mengapa? Karena memang, tulisan Indra banyak berasal dari kegalauan hati Indra. Memang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “galau” berarti juga kekacauan. Kacau dalam pikiran (adjective). Namun sungguh, Indra tak kacau dalam berkicau (menuliskan).
Saya menjadi lebih yakin bahwa ini “kicau galau” Indra, ketika membaca sekelumit kisah di balik penerbitan buku ini pada Harian Kompas (03/03/11) lalu. Dalam berita profil itu disampaikan, bahwa sesungguhnya Indra sangat tidak percaya diri ketika penerbit meminta ia membukukan tulisan-tulisannya, yang notabene akan lebih banyak dibaca orang pada kemudiannya. Ia sangsi, apakah tulisan-tulisannya itu bisa diterima khalayak lain di luar pembaca media-media captive reader tadi.
Tapi, Indra. Yakinlah pada saya, bahwa kicauanmu sama sekali tidak kacau. Kamu “waras” dalam menuliskan. Kalau galau? Ya. Tapi, justru kegalauan itulah yang menjadikanmu bisa menulis sedemikian apik, mengalir lancar dan enak dibaca. Karena ada “emosi” di dalam tulisan-tulisanmu, yang pada akhirnya bisa pembaca rasakan juga.
So, jaga kegalauan itu. Tanpanya, tulisan-tulisanmu tak akan berhasil lahir.
Jadi? Hidup galau!

***

Jumat, 18 Maret 2011

17 BUKU, 117 RIBU!

Sudah cukup lama saya tak berburu buku murah. Terakhir, mampir ke Islamic Book Fair 2011 beberapa waktu lalu. Maunya, dapat buku baru, tapi murah. Tapi oo... diskon buku murah yang saya temui maksimal 20% saja. Tapi lumayan juga, ketika 20% itu berlaku untuk Kamus Besar Bahasa Indonesia yang segedhe gebog itu. Dari 375 ribu harga normal, dapatlah 300 ribu saja. Bungkuuuuss.... :)

Tahun lalu, Gramedia Matraman sempat menggelar program Obral Buku. Semula kulihat tak terlampau banyak pilihan. Karena buku yang dijual di program itu, nyaris selalu sama dengan obral yang ada di pameran buku, yang kebetulan, sudah banyak saya borong seperti tahun-tahun lalu. Akhirnya saya hanya membeli untuk keperluan perpustakaan yang kami dirikan di tanah leluhur, bersama teman-teman seangkatan SMA.

Beberapa waktu ke sini, di awal tahun 2011 ini, saya lihat Gramedia Matraman kembali menggelar program. Buku Hemat (Kumat), namanya. Awalnya, tak terlampau menarik juga, karena pilihan judulnya tak begitu banyak. Yang beruntung adalah anak-anak saya, karena berhasil meluluhkan hati saya untuk memborong 19 judul serial ensiklopedi Aku Suka Belajar yang dalam program itu hanya dijual 20 ribuan. Walhasil, saya tak terlampau tertarik mampir ke sudut ruang di mana program itu digelar.

Namun, beberapa hari kemarin, saya coba masuk kembali, karena saya merasa perlu melengkapi koleksi buku pintar anak saya tadi dengan judul ke-20. Tubuh dan Manusia. Hasilnya nihil. Tapi saya menjadi terbelalak, karena baru tahu bahwa setiap beberapa periode waktu, buku-buku yang masuk ke dalam program tersebut senantiasa berganti, bahkan dengan buku yang relatif baru.

Sungguh kaget ketika melihat buku Rara Mendut-nya Romo Mangun (2008) yang setebal 802 halaman itu hanya dijual seharga Rp 7.500,-! Ya, Anda tak salah liat! Tujuh ribu lima ratus ribu rupiah! Satu kali makan di warteg pun kurang...

Lalu saya lirik Primadona-nya N Riantiarno (2006),422 halaman, juga hanya dijual 7500 perak! Wow!

Lalu beralih ke Dari Langit-nya Rizal Mallarangeng (2008), 659 halaman, yang bahkan masih dicetak edisi ketiganya di tahun 2010 lalu, dijual 10.000 perak. Buku karya Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (2009), juga 10.000 rupiah. Orang Batak Berpuasa-nya Baharuddin Aritonang (edisi revisi, 2008) yang dulu batal saya beli, juga 10.000 . Oz-nya Stefani Hid (2009), 7500 perak. Lalu ke Kumpulan Puisi Namaku Perempuan, novel Rumah Tumbuh, dan sebagainya. Semua berharga menakjubkan! :)

Hari itu, kudapat 10 buku bermutu hanya dengan 85 ribu! Wow, Alhamdulillah...

Kemarin, karena ada kepentingan mencari Anak Arloji-nya Mas Kef (Kurnia Effendi) yang rencananya akan saya hadiri launching-nya di Kalimalang nanti malam, saya kembali mampir ke sudut Kumat. Ternyata, sudah ada buku hemat yang baru lagi! Beberapa memang sudah masuk kloeksi perpus kecil saya. Tapi melihat murahnya buku itu sekarang, huwaaaa..... sempat nyesek juga. Hehe.

Dan masuk kantonglah buku Gelak Sedih serta Cinta Tak Ada Mati-nya Mas Eka Kurniawan yang masing-masing hanya dilego 3000 rupiah, Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis Martin Aleida (3000 rupiah juga), Parang Tak Berulu Raudal Tanjung Banua (juga 3000!), Perang Bintang karya Dewi Sekar (5000 rupiah), dan beberapa buku lain. Walhasil, 7 buku hanya dengan 32 ribu! Lagi-lagi, Alhamdulilah...

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada penulis (hmm... penulis nggak dirugikan, malah diuntungkan dengan semakin banyaknya orang yang bisa membaca karyanya, bukan?), kegembiraan yang sangat saya rasakan manakala harga buku bisa terjangkau sedemikian hemat. Untuk ukuran kelaziman harga buku sekarang tentunya. Saya bayangkan, penerbit dan toko buku juga bersedia mengurangi keuntungannya dengan memperkecil prosentase haknya atas penjualan sebuah buku baru (untuk hak penulis, jangan ya! Kalau perlu ditambah! Hehehe...), pastilah semakin banyak orang yang bisa melek buku. Punya buku. Koleksi buku. Dan mencari buku baru.

Ah, seandainya begitu.
Eh, ini weekend. Jangan-jangan, koleksi buku yang dikeluarkan ke sudut Kumat baru lagi. Hunting lagi ah! Eh, ikutan juga yuk!


Salam buku.

Sabtu, 05 Februari 2011

BUDIMAN HAKIM, DAKWAH, DAN KEKONYOLAN

Saya pikir, menulis dengan jujur adalah sebuah keberanian tersendiri. Menulis dengan apa adanya, termasuk kadangkala tentang "kenakalan" kita. Kekurangsalehan kita. Bahkan mungkin. "aib" kita.

Tapi yang terpenting kemudian, adalah pelajaran atau hikmah apa yang bisa diambil dari kenakalan-kenakalan dan kekurangsalehan itu. Sama seperti pengalaman-pengalaman yang lain.

Bicara tentang menimba hikmah dari pengalaman, rasanya Budiman Hakim adalah orang yang beruntung. Ia memiliki banyak pengalaman. Ditunjang dengan daya ingat yang super, kemampuan olah cerita, kapabilitas dalam menggali "harta karun" pengalaman, dan kejujuran untuk bertutur apa adanya, menjadikan esai-esai dalam buku terbarunya "Si Muka Jelek; Catatan Seorang Copywriter 2" menarik untuk dibaca.

Sekilas, tulisan-tulisan itu tak terkesan serius.  Lihatlah judul buku itu sendiri. Lalu gambar cover, yang setelah kita baca bab "Si Muka Jelek" di halaman 223, kita akan tahu kalau itu adalah foto anak keduanya, si Reo. Tapi cobalah baca, maka Anda akan menemukan keseriusan tutur dan pengalaman di balik cerita-ceritanya yang memang cenderung konyol.

Buku Si Muka Jelek merupakan sekuel lanjutan dari Catatan Seorang Copywriter sebelumnya : Sex After Dugem (selanjutnya ditulis SAD). Dan buku ini tampaknya memang disusun, salah satunya, karena respon yang cukup baik terhadap buku SAD.

Tentang pembelajaran yang didapat, secara sedikit narsis Budiman bercerita, bahwa ia tak menyangka bahwa cerita-cerita yang ditulisnya dalam buku SAD banyak memberi inspirasi, penyegaran dan pencerahan bagi pembacanya. Setidaknya bagi Bu Tuti, seorang pembaca yang berkesempatan berbalas email dengan Budiman. Bu Tuti bahkan mengatakan, bahwa tulisan Budiman dalam buku SAD adalah sebuah cara dakwah yang tidak biasa. Ia memberi pencerahan tanpa menggurui. Dalam bahasa Bu Tuti, Budiman menggunakan metoda dakwah yang 'sangat benar' : berlaku sebagai teman, bercerita tanpa menggurui, tanpa merasa pintar dari orang lain. Dan yang penting tanpa merasa lagi berdakwah.

Saya pikir, Bu Tuti tak terlampau berlebihan. Buku Si Muka Jelek ini menegaskan kesimpulan itu. Kendati dibalut dengan bahasa yang sangat sehari-hari, tapi kejujuran dan kemampuan menceritakan kembali pengalaman yang dimiliki Budiman, menjadi sebuah kekuatan yang bisa mengajak kita berpikir, merenung dan membuat keputusan dalam hati.

Buku Si Muka Jelek sendiri berisi 19 judul bab. Antar bab tak terkait. Masing-masing merupakan penggalan pengalaman yang dituturkan dalam bahasa tulis. Lengkap dengan dialog-dialog, sehingga kita merasa Budiman memang sedang "bercerita" pada kita.

Ada cerita konyol Budiman dan Chappy Hakim tentang "Si Wiederholung" yang sangat jago bikin gol di Liga Jerman. Lalu cerita tentang seorang guru badung yang asli Betawi bernama Pak Musa dengan "Mak dikipe lobang!"-nya. Yang secara "gila" memberi nama sok Latin kepada anaknya : Enya Gapaguta, padahal nama itu sesungguhnya singkatan dari Enaknya Ga Seberape, Gurihnye Ga Tahaaaan.... Sebuah "prinsip" yang dipegang Musa soal kebiasaannya main perempuan.

Masih ada juga tentang Lena, yang ternyata adalah nama seekor anjing karyawannya! Dikisahkan dalam Lena vs Lena, bagaimana sulitnya Budiman mengambil keputusan tentang keberadaan Lena di kantornya, karena si Lena sudah dianggap sebagai "anak" oleh Si Iyus. Si karyawan itu. Yang kemudian merembet jadi masalah kebijakan perusahaan, dan bahkan kemudian menjadikan ia salah akomodir dalam menampung keluhan karyawannya yang lain, Si Maya, karena ia tak sadar bahwa Lena yang kali ini diceritakan oleh Maya adalah anak kandung Maya, dan bukan Lena si anjing Iyus!

Lucu, konyol, tapi pada akhirnya membuat kita berpikir. Yang diharapkan, bahwa setelah membaca kita tak berhenti pada tataran berpikir, namun pada akhirnya juga bisa belajar dari pengalaman Budiman, tanpa kita sendiri harus mengalaminya.

Buku ini cocok sebagai bacaan selingan maupun bacaan utama. Beberapa tulisan memang "mensyaratkan" kedewasaan dalam umur dan pemahaman, meskipun sesungGuhnya sama sekali tak tampak pretensi untuk "menghalalkan" keterbukaan cerita.

Akhirnya, selamat membaca. Dan jika Anda suka, tak rugi jika Anda juga mencari Sex After Dugem.


Selamat membaca.

Minggu, 23 Januari 2011

MAN SHABARA ZHAFIRA


Saya baru pulang dari book launching dan book signing buku Ranah 3 Menara-nya Mas Ahmad Fuadi. Di Gramedia Matraman.

Excited juga melihat beliau langsung, setelah dua kali menamatkan novel pertamanya : Negeri 5 Menara. Ya, Ranah 3 Warna merupakan lanjutan atau buku kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis Mas Fuadi. Selama ini saya hanya bisa membayangkan si Alif Fikri yang diyakini tak lain dan tak bukan adalah Mas Fuadi sendiri. Apalagi memang, beliau mengaku novel tersebut terinspirasi kisah yang nyata. Untuk membayangkannya, relatif mudah, karena ada foto beliau di profil penulisnya.

Saya menjadi lebih excited lagi karena dalam acara itu hadir Pak Etek dari Mas Fuadi (saya lupa persis nama aslinya, tapi sempat dikenalkan), yang tak lain adalah sosok Pak Etek Gindo, yang pada kisahnya diceritakan sebagai orang yang mengenalkan dan meminta Alif masuk ke Pondok Madani.

Dan menjadi luar biasa lagi, karena ada Mas Kuswandani alias "Si Atang" yang urang Sunda, yang pada acara itu dipercaya membawa do'a dengan penuh takzim dan getar. Saya membayangkan, bagaimana kalau ada juga Si Raja Lubis, Baso Salahudin, Dulmajid, dan Said. Saya dengar mereka semua sudah sukses, dan menjadi apa yang memang mereka impikan.


Man jadda wajada!

Itulah "mantra" yang diperkenalkan Mas Fuadi pada novel pertamanya. Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Keenam sahabat yang menyebut diri mereka Sahibul Menara sudah membuktikannya. Mereka punya mimpi, bersungguh-sungguh mengusahakannya, dan Allah SWT menghadiahi mereka keberhasilan. Persis seperti yang mereka inginkan.

Dalam kesempatan itu Mas Fuadi memang menegaskan, pertama, jangan pernah takut untuk bermimpi besar. Bermimpilah setinggi-tingginya. Karena atas ijin Allah, tak ada yang tak mungkin. Kedua, man jadda wajada itu sendiri. Jangan sekedar punya cita-cita tinggi, tapi tak beraksi. Berusahalah semaksimal mungkin. Bahkan menurut beliau, berusahalah di atas rata-rata orang lain. Jika orang lain belajar sampai jam 1 pagi, maka belajarlah lebih lama setengah jam. Sampai setengah dua pagi. Jika orang lain membaca 3 buku, maka bacalah 4 buku. Selalu lebihkan dari apa yang diperbuat orang lain. Dalam hal positif tentunya. Seorang pelari menjadi juara dunia sprint 100 m, sesungguhnya "hanya" unggul nol koma sekian detik dari pesaingnya. Bahkan kata Mas Fuadi, sang juara itu sebenarnya "hanya" unggul tak sampai 2 detik dari juara tingkat Jawa Timur.

Dalam novel kedua-nya, Mas Fuadi mensyiarkan "mantra" baru : man shabara zhafira. Siapa yang bersabar, pasti akan beruntung.


Kenapa Mas Fuadi merasa perlu menyampaikan hal itu? Karena, dari pengalamannya, kadang seseorang tidak sabar menunggu kesuksesan ataupun keberuntungannya. Padahal, seseorang itu sudah merasa berusaha maksimal. Dari pengalaman Mas Fuadi dan kawan-kawan, Tuhan memang tidak selalu memberikan "hadiah" bagi kita yang bersungguh-sungguh dalam waktu singkat. Keberkahan ataupun keterkabulan usaha dan doa kita, bisa jadi akan "dijawab" Tuhan dalam jangka waktu yang panjang.

Dari penulisnya, tema utama cerita ini adalah masa-masa ketika Alif Fikri melanjutkan proses pendidikannya ke jenjang perkuliahan, di mana "ujian-ujian" dari Tuhan benar-benar menguji kesabarannya. Kesehariannya yang penuh keterbatasan, keinginannya ke Amerika yang seolah "tak berdasar", dan sebagainya.

Setting cerita ada di 3 tempat. Bandung (Indonesia), Yordania, dan Kanada. Itulah ketiga "warna" dalam ranah jejak perjalanan si Alif Fikri. Si anak Kampung Bayur, Maninjau, yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpi tertingginya.

Saya jadi ingat kalimat motivasional lain yang mengatakan, banyak orang merasa gagal dan mundur pada langkah ke-1000, padahal pintu kesuksesan sesungguhnya ada di langkah ke-1001. Satu langkah lagi. Sayang sekali, bukan?


Saya memang belum selesai membaca buku Ranah 3 Warna ini. Tapi, dari beberapa bab awal yang sempat saya baca sebelum acara dimulai, saya melihat komitmen yang keras dari Mas Fuadi, untuk mampu menghadirkan kesadaran motivasional itu dalam sebuah rentetan kisah yang indah. Bahasanya terjaga. Senantiasa estetik, tanpa harus berkesan mendayu-dayu.

Ada satu hal lain lagi yang saya catat dari kisah Alif Fikri ini. Jika selama ini orang Sumatera Barat lebih lekat dengan kesuksesannya merantau sebagai pedagang, maka Mas Fuadi kembali membuka mata kita bahwa orang Minang tak hanya bisa sukses di bidang perdagangan dan sporadisitas rumah makan Padang-nya, tapi juga banyak yang sukses di bidang keilmuan dan kepemimpinan, sebagaimana Buya Hamka yang menjadi ulama idola Amak si Alif. Juga Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir atau Haji Agus Salim.

Nah, daripada berpanjang-panjang, mari segera kita nikmati hidangan hangat dari Mas Fuadi ini, dan mari kita rasakan bersama efeknya.

Selamat membaca.

Sabtu, 15 Januari 2011

TEKAD

Pernah suatu ketika, kubulat tekad. Menulis tentang buku. Bercerita isi buku.
Dan, terhenti.

Kupikir, tak ada salahnya mengulang tekad. Ketika action terdahulu belum optimal, maka tekad baru dikumandangkan. Tetap pada sebuah tujuan : berbagi. Karena berbagi adalah kebutuhan.

Semoga tekad dan action kali ini, jauh lebih baik.
Amin.


Salam buku,

Fajar S Pramono