Judul Buku : Kicau Kacau;
Curahan Hati Penulis Galau
Penulis : Indra Herlambang
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal Buku : xvi + 326 halaman
Dalam pandangan saya, kurang tepat rasanya jika buku ini diberi judul Kicau Kacau. Kecuali, jika alasannya sekedar pengambilan judul tulisan isi yang (mungkin) dirasa paling mewakili oleh si penulis itu sendiri.
Mengapa begitu? Karena jelas, ini sebuah kumpulan tulisan –disebut penulisnya sebagai “curahan hati”– yang serius. Yang sama sekali tidak kacau.
Menurut saya, Indra Herlambang sama sekali tak sedang bergurau atau ngaco ketika menulis berbagai hal yang menjadi bahan baku buku ini. Pertama, karena tulisan Indra merupakan sebuah tulisan yang kesemuanya diperuntukkan untuk konsumsi khalayak luas. Ya, karena kesemua tulisan yang dirangkum oleh penerbit ini merupakan tulisan kolom publicated di berbagai majalah, sepert ME Asia, Free Magazine, dan U Magazine, yang tentu saja merupakan bahan bacaan orang banyak. Tak mungkin Indra asal menulis.
Kedua, pada akhirnya tampak bahwa Indra memang memiliki “spesialisasi” tema penulisan seputar persoalan gaya hidup (lifestyle), dan berbagai hal unik di seputarnya. Itu sebabnya penerbit berhasil mengelompokkan tulisan-tulisan Indra yang terserak itu dalam empat buah bab. Kicauan tentang “Gaya Hidup, Hidup Gaya, dan Hidup Gak Ya?” di bab I, “Single, In Relationship, atau It’s Complicated” pada bab II, “Jakarta, Indonesia, dan Kesehatan Jiwa” di bab III, dan “Keluarga” pada bab terakhir.
Kendati kicauannya dapat dikelompokkan dalam empat topik spesifik seperti di atas, namun tema besarnya tetaplah seputar gaya hidup. Tentang lifestyle itu sendiri, lifestyle dalam hubungan antar manusia, lifestyle dalam sebuah komunitas kota metropolis sekaligus negara agraris demokratis, dan lifestyle yang terkait dengan keberadaan entitas bernama keluarga.
Bagi seorang Indra Herlambang, tentu bukan perkara rumit untuk menemukan berbagai tema lifestyle yang kemudian dikicaukannya dalam bentuk tulisan. Indra adalah seorang selebritas. Eksistensi dan –kadangkala– tuntutan gaya hidup yang seringkali dialaminya, mampu menguatkan dan mendalamkan isi tulisan-tulisannya, yang sebenarnya berangkat dari tema-tema kecil belaka.
Namun, berbagai tema yang seolah remeh temeh itu, berhasil ia angkat menjadi sebuah pembicaraan dan perenungan yang gegar, tanpa kehilangan konteks kesantaiannya. Sersan. Serius tapi santai.
Silakan baca ‘Kacamata Tiga Dimensi di Hidung, Klepon Lezat di Mulut’ di bab I (hal. 15). Tulisan ini berkisah tentang perpaduan teknologi modern dengan peradaban konvensional, bahkan tradisional. Ia menulis hal ini setelah ia “takjub” manakala ditawari makan klepon (jajanan pasar dari tepung ketan berisi gula kelapa) oleh temannya, pada saat mereka menonton film canggih tiga dimensi di sebuah gedung bioskop. Sangat kontras kedua aktivitas itu, tapi ternyata sangat nikmat ketika dirasakan. Dari situ, Indra memandang, betapa menyenangkan jika berbagai kemajuan teknologi dan gaya hidup di dunia ini, mendapat perimbangan yang mudah bagi antisipasi akibat yang mungkin timbul.
Di Bab II, ada ‘Di Atas Kertas Art Paper Biru Muda Berlaminating Doff Sempurna’, yang berawal dari kegalauan Indra seputar undangan pernikahan yang ditempel di majalah dinding kantornya. Dari peristiwa kecil yang sekarang sudah menjadi “biasa” itu, Indra berkisah tentang memudarnya tata krama, sampai kepada analisa mengapa undangan pernikahan yang menjadi tren saat ini seperti tak ubahnya “pameran foto”. Indra menganalisa dengan serius, dan mendapatkan lima alasan yang mungkin (hal. 123-127).
‘Kicau Kacau’ sendiri bertutur tentang kejenuhannya mendengar kicau Twitter di segala waktu, yang menurutnya telah “berubah” pemanfaatannya dan mengganggu. Saat ini, segala hal dikicaukan di Twitter. Penting atau tak penting. Bermanfaat ataupun tidak. Kadang tanpa isi. Tanpa esensi. Hasilnya? Indra yang semula sempat twitter-addict, menjadi ilfil. Cecuitan burung sungguhan di luar halaman yang dulu sempat terabaikan karena dianggap kalah indah dengan cuit Twitter, ternyata tetap kicau terindah nomor satu (hal.26-31).
Masih banyak (total 50 buah) tulisan yang berhulu pada hal sepele, namun berhilir pada kesimpulan yang membuat kita merenung. Permohonan sumbangan yang “tak sopan”dari adik kelasnya, kegalauan ketika melihat dua makhluk berciuman dahsyat di bilik nomor lima warnet langganannya, juga fenomena ketika ia tertidur di tengah disco party yang gemerlap pada suatu ketika, merupakan kisah-kisah lain yang menjadi bahan kicauan Indra.
Kembali pada pilihan judul buku, saya lebih cenderung untuk menyebut ungkapan hati Indra ini sebagai Kicau Galau. Mengapa? Karena memang, tulisan Indra banyak berasal dari kegalauan hati Indra. Memang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “galau” berarti juga kekacauan. Kacau dalam pikiran (adjective). Namun sungguh, Indra tak kacau dalam berkicau (menuliskan).
Saya menjadi lebih yakin bahwa ini “kicau galau” Indra, ketika membaca sekelumit kisah di balik penerbitan buku ini pada Harian Kompas (03/03/11) lalu. Dalam berita profil itu disampaikan, bahwa sesungguhnya Indra sangat tidak percaya diri ketika penerbit meminta ia membukukan tulisan-tulisannya, yang notabene akan lebih banyak dibaca orang pada kemudiannya. Ia sangsi, apakah tulisan-tulisannya itu bisa diterima khalayak lain di luar pembaca media-media captive reader tadi.
Tapi, Indra. Yakinlah pada saya, bahwa kicauanmu sama sekali tidak kacau. Kamu “waras” dalam menuliskan. Kalau galau? Ya. Tapi, justru kegalauan itulah yang menjadikanmu bisa menulis sedemikian apik, mengalir lancar dan enak dibaca. Karena ada “emosi” di dalam tulisan-tulisanmu, yang pada akhirnya bisa pembaca rasakan juga.
So, jaga kegalauan itu. Tanpanya, tulisan-tulisanmu tak akan berhasil lahir.
Jadi? Hidup galau!
***