Minggu, 23 Januari 2011

MAN SHABARA ZHAFIRA


Saya baru pulang dari book launching dan book signing buku Ranah 3 Menara-nya Mas Ahmad Fuadi. Di Gramedia Matraman.

Excited juga melihat beliau langsung, setelah dua kali menamatkan novel pertamanya : Negeri 5 Menara. Ya, Ranah 3 Warna merupakan lanjutan atau buku kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis Mas Fuadi. Selama ini saya hanya bisa membayangkan si Alif Fikri yang diyakini tak lain dan tak bukan adalah Mas Fuadi sendiri. Apalagi memang, beliau mengaku novel tersebut terinspirasi kisah yang nyata. Untuk membayangkannya, relatif mudah, karena ada foto beliau di profil penulisnya.

Saya menjadi lebih excited lagi karena dalam acara itu hadir Pak Etek dari Mas Fuadi (saya lupa persis nama aslinya, tapi sempat dikenalkan), yang tak lain adalah sosok Pak Etek Gindo, yang pada kisahnya diceritakan sebagai orang yang mengenalkan dan meminta Alif masuk ke Pondok Madani.

Dan menjadi luar biasa lagi, karena ada Mas Kuswandani alias "Si Atang" yang urang Sunda, yang pada acara itu dipercaya membawa do'a dengan penuh takzim dan getar. Saya membayangkan, bagaimana kalau ada juga Si Raja Lubis, Baso Salahudin, Dulmajid, dan Said. Saya dengar mereka semua sudah sukses, dan menjadi apa yang memang mereka impikan.


Man jadda wajada!

Itulah "mantra" yang diperkenalkan Mas Fuadi pada novel pertamanya. Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Keenam sahabat yang menyebut diri mereka Sahibul Menara sudah membuktikannya. Mereka punya mimpi, bersungguh-sungguh mengusahakannya, dan Allah SWT menghadiahi mereka keberhasilan. Persis seperti yang mereka inginkan.

Dalam kesempatan itu Mas Fuadi memang menegaskan, pertama, jangan pernah takut untuk bermimpi besar. Bermimpilah setinggi-tingginya. Karena atas ijin Allah, tak ada yang tak mungkin. Kedua, man jadda wajada itu sendiri. Jangan sekedar punya cita-cita tinggi, tapi tak beraksi. Berusahalah semaksimal mungkin. Bahkan menurut beliau, berusahalah di atas rata-rata orang lain. Jika orang lain belajar sampai jam 1 pagi, maka belajarlah lebih lama setengah jam. Sampai setengah dua pagi. Jika orang lain membaca 3 buku, maka bacalah 4 buku. Selalu lebihkan dari apa yang diperbuat orang lain. Dalam hal positif tentunya. Seorang pelari menjadi juara dunia sprint 100 m, sesungguhnya "hanya" unggul nol koma sekian detik dari pesaingnya. Bahkan kata Mas Fuadi, sang juara itu sebenarnya "hanya" unggul tak sampai 2 detik dari juara tingkat Jawa Timur.

Dalam novel kedua-nya, Mas Fuadi mensyiarkan "mantra" baru : man shabara zhafira. Siapa yang bersabar, pasti akan beruntung.


Kenapa Mas Fuadi merasa perlu menyampaikan hal itu? Karena, dari pengalamannya, kadang seseorang tidak sabar menunggu kesuksesan ataupun keberuntungannya. Padahal, seseorang itu sudah merasa berusaha maksimal. Dari pengalaman Mas Fuadi dan kawan-kawan, Tuhan memang tidak selalu memberikan "hadiah" bagi kita yang bersungguh-sungguh dalam waktu singkat. Keberkahan ataupun keterkabulan usaha dan doa kita, bisa jadi akan "dijawab" Tuhan dalam jangka waktu yang panjang.

Dari penulisnya, tema utama cerita ini adalah masa-masa ketika Alif Fikri melanjutkan proses pendidikannya ke jenjang perkuliahan, di mana "ujian-ujian" dari Tuhan benar-benar menguji kesabarannya. Kesehariannya yang penuh keterbatasan, keinginannya ke Amerika yang seolah "tak berdasar", dan sebagainya.

Setting cerita ada di 3 tempat. Bandung (Indonesia), Yordania, dan Kanada. Itulah ketiga "warna" dalam ranah jejak perjalanan si Alif Fikri. Si anak Kampung Bayur, Maninjau, yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpi tertingginya.

Saya jadi ingat kalimat motivasional lain yang mengatakan, banyak orang merasa gagal dan mundur pada langkah ke-1000, padahal pintu kesuksesan sesungguhnya ada di langkah ke-1001. Satu langkah lagi. Sayang sekali, bukan?


Saya memang belum selesai membaca buku Ranah 3 Warna ini. Tapi, dari beberapa bab awal yang sempat saya baca sebelum acara dimulai, saya melihat komitmen yang keras dari Mas Fuadi, untuk mampu menghadirkan kesadaran motivasional itu dalam sebuah rentetan kisah yang indah. Bahasanya terjaga. Senantiasa estetik, tanpa harus berkesan mendayu-dayu.

Ada satu hal lain lagi yang saya catat dari kisah Alif Fikri ini. Jika selama ini orang Sumatera Barat lebih lekat dengan kesuksesannya merantau sebagai pedagang, maka Mas Fuadi kembali membuka mata kita bahwa orang Minang tak hanya bisa sukses di bidang perdagangan dan sporadisitas rumah makan Padang-nya, tapi juga banyak yang sukses di bidang keilmuan dan kepemimpinan, sebagaimana Buya Hamka yang menjadi ulama idola Amak si Alif. Juga Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir atau Haji Agus Salim.

Nah, daripada berpanjang-panjang, mari segera kita nikmati hidangan hangat dari Mas Fuadi ini, dan mari kita rasakan bersama efeknya.

Selamat membaca.

Sabtu, 15 Januari 2011

TEKAD

Pernah suatu ketika, kubulat tekad. Menulis tentang buku. Bercerita isi buku.
Dan, terhenti.

Kupikir, tak ada salahnya mengulang tekad. Ketika action terdahulu belum optimal, maka tekad baru dikumandangkan. Tetap pada sebuah tujuan : berbagi. Karena berbagi adalah kebutuhan.

Semoga tekad dan action kali ini, jauh lebih baik.
Amin.


Salam buku,

Fajar S Pramono